Wahyu sebagai sumber ajaran utama Islam dalam
menjawab masalah-masalah waqi’iyah yang terjadi, sudah tidak turun lagi
semenjak dipanggilnya Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah keharibaan-Nya pada
empat belas abad yang telah lewat. Disisi lain pola interaksi manusia yang
sarat dengan permasalahan-permasalahan baru yang memerlukan jawaban hukum
pengamalannya, dimana permasalahan yang terjadi tersebut tidak sama dengan
permasalahan yang terjadi ketika wahyu diturunkan. Hal tersebut mendorong para
ulama sebagai pewaris para anbiya berupaya dengan segenap kemampuannya menggali
hukum atas permasalah-permasalahan yan belum ada hukumnya melalui dalil-dalil
tafsiliyah yang dikenal dengan istilah ijtihad.
Dalam sejarah perundang-undangn Islam, istimbat hukum
pada permaslahan yang tidak disinggung dalam al Qur’an yang disebut dengan
istilah ijtihad sudah ada semenjak masa wahyu masih turun yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW ataupun para sahabat beliau.[1]Hikmah
dari dibolehkannya ijtihad walaupun wahyu masih turun untuk mendidik para
sahabat serta generasi selanjutnya agar senantiasa proaktif dan apreatif
terhadap masalah-masalah yang terjadi walaupun wahyu sudah tidak turun lagi.
Setelah kita memahami tentang arti pentingnya sebuah ijtihad lalu timbul sebuah
pertanyaan apa sih substansi ijtihad itu dan bagaimana metodologinya ?.
Pengertian Ijtihad
Secara etimologi kata ijtihad berasal dari kata dasar جهد . kata ini mengikuti wazan (morfem)
افتعال yang berfaidahkan mubalagah. Dalam
bahasa Arab Kata جهد memiliki dua pengertian; pertama, ketika
fa’ fi’ilnya berharakat fathah (جَهد) berarti المشقة (sukar). Kedua, ketika fa’ fi’ilnya
berharakat dhamah (جُهد) berarti الطاقة (kemampuan).[2]
Dari pengertian etimologi
tersebut di atas, para pakar ushul fiqh cenderung mengartikan ijtihad dengan
pengertian الطاقة (kemampuan) dimana secara terminologinya, oleh mereka didefinisikan
sebagai berikut :[3]
بذل أقصى الجهد
للوصول الى حكم شرعي عملي من دليله التفصيلي بطريق استنباط الحكم من دليله
(berupaya dengan segenap
kemampuan dalam mengasilkan sebuah hukum syari’ yang bersifat amaliyah
berdasarkan dalil yang tafsili dengan jalan menggali hukum dari langsung sumbernya).
Dari uraian definisi diatas dapat diambil penjelasan
sebagai berikut :
Yang dimaksud بذل أقصى الجهد upaya seorang mujtahid dengan mencurahkan segenap kemampuannya untuk
berijtihad dalam mencari sebuah hukum. Oleh karena itu seseorang tidak bisa
dikatakan berijtihad menggali sebuah hukum dengan dalil yang sudah qot'i
(pasti) karena disitu tidak ditemukan sama sekali ma’na بذل أقصى الجهد (mencurahkan segenap kemampuan) seperti halnya hukum saham
½ bagian anak perempuan dalam warisan yang mana alqur’an sudah menjelaskannya.
Hukum yang menjadi fokus
seorang mujtahid dalam berijtihad adalah hukum syar’i yang bersifat praksis (amali).
Oleh karena itu tidak bisa dikatakan berijtihad, seseorang yang mencurahkan
segenap kemampuannya dalam menghasilkan sebuah hukum yang bersifat murni aqliyah
(rasiao), atau hukum syara’ yang bersifat aqidah seperti hukum bahwasanya Allah
SWT adalah tunggal tidak bersekutu karena hukum syara’ ini hanya bersifat
kepercayaan yang tidak ada bentuk amaliyahnya, atau pula hukum pasti dalam teori
matematika seperti hukum lebar sudut segitiga sama sisi adalah sama karena
sifatnya murni rasio akal
Maksud
dari dalil tafsili adalah menggali hukum dari sumber asalnya yang
merupakan dalil-dalil syara’ yang bersifat elaborate (terperinci), bukan
dalil-dalil kuliyah (general) yang terdapat dalam kaedah-kaedah ushul
fiqh. Adapun mencurahkan kemampuan dalam mencari sebuah hukum lewat perkataan
para ulama atau menaqel ibarat (memindah redaksi) dari kitab-kitab
matan (induk) dan sarahnya (komentar), atau juga menggali sebuah
hukum dari sumber-sumber yang tidak termasuk dalil-dali syar’i, tidak bisa
dikatakan sebuah ijtihad menurut pandangan ulama ushul.
Definisi diatas detutup
dengan kalimat “بطريق استنباط الحكم من دليله ” (dengan jalan mengali hukum dari sumbernya)
bukan dengan dengan jalan itba’ atau taqlid (mengikuti pendapat
orang lain).
Dari uraian tersebut, jadi
ijtihad adalah sebuah proses pencarian hukum terhadap suatu permasalahan yang
tidak diketemukan nas yang qat’i dan sarih.
Medan Ijtihad
Dalam medan
ijtihad, Prof. Dr. Ahmad Haji Kurdi (pakar ensiklopide fiqh islam) dalam
kitabnya "Madkhol al Fiqhi" telah menjelaskan bahwasanya medan ijtihad terbagi
kedalam dua kawasan :
- Ijtihad dalam memahami nas (teks) yang masih ghamid (samara) atau musytarak (berma’na ganda) atau tidak jelas pengertiannya seperti ucapan Nabi SAW :
(ketika air sudah mencapai dua qullah maka tidak
mengandung najis)
Karena tidak ada kebakuan
ukuran qullatain yang di ucapakan Nabi SAW tersebut, maka para ulama melakukan
berijtihad dan berbeda-beda pula pendapat mereka. Selanjutnya pengertian lafad قروء dalam surat
al Baqarah ayat 228, dalam menafsirinya juga terjadi silang pendapat diantara
mereka dikarenakan sifat gandanya maksud lafad tersebut.
- Ijtihad dalam menyamakan hukum dengan dengan nas dengan jalan di qiyaskan, atau istislah, atau dengan lainnya dari dalil-dalil yang digunakan untuk berijtihad seperti 'urf atau istishab dan lain-lainnya. [5]
Syarat-Syarat Ijtihad
Dalam ijtihad para ulama
telah membuat kreteria-kreteria sebagai persyaratan dalam melakukan ijtihad.
Secara garis besar syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang mujtahid
antara lain :
- Mempunyai pengetahuan yang menyeluruh tentang ayatulahkam (ayat-ayat hukum) yang ada dalam al Qur’an baik secara general maupun particular disamping mengerti ulumul qur'an.
- Menguasai ahaditsul ahkam (hadits-hadits hokum) yang terdapat dalam as Sunah baik secara general maupun partikular dan memahami ilmu-ilmu ushulul hadis.
- Faham proses hukum hasil ijma ’(consensus) para ulama sebelumnya.
- Memahami teori maqosid syariah
- Mempunyai pengetahuan yang baik tentang bahasa Arab serta qaedah-qaedahnya.
- Memahami situasi dan kondisni yang terjadi dimasyarakat.
- Sempurna aqidahnya, beretika dengan ahlakul karomah, lurus jalan hidupnya dan tidak dikenal sebagai seorang yang fasiq (sering berbuat dosa).
- Sempurna akal fikirannya.[6]
Hukum Ijtihad
Secara umum, hukum ijtihad
adalah fardu kifayah bagi setiap muslim pada setiap masa dan generasi. Akan
tetapi bagi orang-orang yang mempunyai kapabilitas dalam berijtihad dan
menetapi persyaratan-persyartan yang telah ditentukan diatas, ketika mendapati
suatu permasalahan yang harus segera dicari hukumnya, maka hukumnya fardlu ain
bagi dia dalam berijtihad. Bila dalam satu tempat terdapat lebih dari satu
orang-orang yang kapabel dalam berijtihad maka hukum berijtihad bagi merka
adalah fardlu kifayah. Dan sunah hukumnya berijtihad tentang suatu masalah yang
belum pernah terjadi atau akan terjadi dimasa akan datang.
Adapun hukum berijtihad bagi
para ulama atau orang lain yang tidak mempunyai kepabilitas dalam berijtihad
adalah haram.[7]
Sumber-Sumber Hukum Syari’at Islam
Sumber-sumber hukum yang
dijadikan sandaran para ulama dalam berijtihad, jumlahnya sangat banyak sekali
mencapai angka dupuluhan lebih. Dari sumber-sumber hukum tersebut yang paling utama
antara lain : al Qur’an, Assunah, Ijma’, Qiyas, Istishab, Istihsan,
Masolihul Mursalah, Mazhab Sohabi, Suria’ Minqoblina, ‘Urf, Saddud Dara’i.
Dari sekian sumber hukum tersebut
para ulama telah mengklasifikasikannya kedalam tiga katagori :
- Sumber hukum dilihat dari segi sifat asalnya terbagi menjadi dua ; pertama sumber hukum yang bersifat naqliyah yaitu : al Qur’an, Assunah, Ijma,‘Urf, Suri’a min qablina, dan Madzhab sahabi. Yang kedua bersifat aqliyah yaitu : Qiyas, Istihsan, Masalah al Mursalah dan Saddud Darai’
2.
Sumber hukum dilihat dari segi istiqlalnya
(kemandirian) terbagi menjadi dua : sumber hukum yang mustaqil
(independen) dalam menentukan sebuah hukum seperti : al Qur’an, Assunah,
Ijma, ‘Urf dan Madzhab shahabi. Dan sumber hukum ghoiru musytqil (tidak
independen) yang masih memerlukan dalil lain seperti : Qiyas, Istihsan, dan
Sad Addara’i.
3.
Sumber hukum dilihat dari segi itifaqiyahnya
dibagi menjadi dua katagori : pertama sumber hukum yang muttafaq (disepakati)
dilakalangan para ulama yaitu ada 4 : al Qur’an, Assunah, Ijma dan Qiyas. Kedua
sumber hukum yang muhtalaf (masih berselih pendapat) yaitu : Istishab,
Istihsan, Masolihul Mursalah, Mazhab Sohabi, Suria’ Minqoblina, ‘Urf, Saddud
Dara’i. Oleh para ulama ushul sumber hukum yang pertama dinamakan juga sumber
hukum asliyah (utama) sedangkan yang kedua dinamakan sumber hukum taba’iyah
(pelengkap).[8]
Demikian ulasan singkat
tentang ijtihad dan bagaimana metodologi pengaplikasiannya dalam syariat islam,
semoga bisa bermafaat bagi semua. Amin ya robbal alamin.
[1] Dr.
Muhammad Zuhaili, Ushul Fiqh Islam. Damascus University Press hal. 31
[2]
Lihat mu’jam “Lisanul Arob” juz
3hal.133 madah جهد lihat juga mu’jam “Muhtarus
Sihhah” juz 1 hal.48 madahد ج ه.
[3]
Lihat uraian selengkapnya dalam makalahnya
Dr. Ibrahim Salqini dengan judul “Ijtihad Tasyri’ Islam” yang
diterbitkan majalah “Turasul Arabi” edisi ke 11 tahun 1983
[4] Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Ashab al Sunan dari Abdullah
Ibn "Umar. lihat kitab "Talhisul
Al Khabir" karangan Imam Ibn Hajar al Asqalani hal. 4 juz 1
[5] Dr.
Ahmad Haji Kurdi, Madkhol Fiqh. Damascus University
press. Hal. 80
[6] Dr.
Ibrahim Salqini, Ijtihad Tasyri’ Islam
[7] ibid
[8] Dr.
Muhammad Zuhaili, Ushul Fiqh Islam. Damascus University Press hal. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar