Muqadimah
Lima belas abad berlalu risalah islam diturunkan
dimuka bumi sebagai risalah penutup dan penyempurna diantara risalah-risalah
sebelumnya yang telah Allah SWT turunkan kepada umat manusia sebagai petunjuk
jalan kebenaran dan menuntun umat manusia agar senantiasa hijrah dari jalan
kegelapan menuju jalan terang benerang [QS 2 :257]. Islam sebagai penutup dari risalah-risalah
sebelumnya sudah sepatutnya mempunyai sebuah nilai universalisme ajaran yang
mengatur semua sisi ruang kehidupan manusia baik pola hubungan vertikal maupun
pola horizontal, sehingga tercermin diferensi ajaran bagi risalah sebelumnya.
Universalimse ajaran tersebut adalah anugrah Allah SWT yang tak terhingga
nilainya bagi umat islam dan bagi umat manusia pada umumnya [QS 5:3].
Berangkat dari kekafahan ajaran tersebut,
tidaklah berlebihan bila dalam kontek
kenegaraan ajaran islam telah memiliki sebuah konsep teoritis, dimana dasar-dasar
pondasi daulah islamiyah atau Negara islam tersebut, sudah teraplikasikan
semenjak agama islam diturunkan pertama kali, dalam fase dakwah kedua setelah
Nabi Muhamad SAW hijrah ke kota Madinah. Setelah
beliau selesai menunaikan tugasnya dan pulang ke hadirat-Nya, kendali
kepemimpinan islam diteruskan oleh para sahabat-sahabat beliau fase
khulafaurrosyidin, kemudian kepemimpinan daulah islamiyah tersebut beralih
ketangan kaum tehnokrat islam dimulai dari Bani Umayah berturut-turut Bani
Abasiyah, Daulah Fatimiyah sehingga khilafah islamiyah berakhir dengan
berakhirnya kekuasaan Turki Usmani di penghujung abad sembilan belas.
Konsep teoritis tata negara dalam islam sudah
diakumulasiakan oleh para sarjana-sarjana islam kedalam bentuk disiplin
keilmuan cabang dari disiplin ilmu Fiqh, bahkan beberapa fuqaha melihat
urgentnya sub thema pembahasan ini, telah mekodifikasikannya kedalam sebuah maha karya
agung yang bersifat mustakil (independent) dari bab-baba fiqh lainya diantaranya para fuqaha tersebut : Qadi Abu Yusuf
dalam kitab al Khoroz, Al Mawardi dan Qadi Abu Ya’la masing-masing dalam
kitab al Ahkam al Sulthaniyah dan Ibnu Taimiyah dalam kitab al Siyasah
al Syar’iyah serta para fuqaha ahli tata Negara lainya yang tidak
disebutkan disini.
Untuk tidak memperpanjang lebar uraian muqadimah,
dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraiakan tentang konsep daulah
islamiyah yang telah di gagas oleh para sarjana-sarjana fiqh islam tersebut.
Definisi
Daulah
Secara bahasa kalimat daulah oleh para
ulama diartikan sebagai[1]
:
حصول الشي في
يد هذا تارة وفي يد أخرى, أو العقبة في
المال والحرب (أي التعاقب)
Sesuatu yang kadang
dihasilkan dari tangan ini dan
dihasilkan dari tangan lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau peperangan.
Penggunaan kata daulah digunakan sebagai kata
istilah, belum begitu merata dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya
beberapa kitab yang sudah memakainya seperti kitab ahkam sultoniyah. Namun
begitu oleh para fuqaha zaman dulu, pembahasan daulah islamiyah dalam kitab
fiqh-fiqh turast sudah dimasukan kedalam sub thema pembahasan
kepemimpinan negara (al ahkam al imamiyah) dengan menegaskan bahwa
daulah adalah representasi dari sosok kepemimpinan tinggi, atau istilah lainya
khalifah. Dimana dalam bab ini mencakup pula sub-sub thema selanjutnya dari bab
tentang wewenang, tugas dan hak seorang pemimpin.
مجموعة الإيلات
تجتمع لتحقيق السيادة على أقاليم معينة, لها حدودها, ومستوطنوها,
فيكون الحاكم أو الخاليفة, أو أمير المؤمنين, على رأس هذه السلطات.
Gabungan kelompok
masyarakat yang menguasai kawasan tertentu, mempunyai wilayah dan anggota masyarakat
tertentu, dan hakim atau khalifah atau amirul mu’minin yang bertindak sebagai
pucuk pimpinan kekuasaaan ini.
Dari definisi diatas dapat
diambil kesimpulan bahwasanya negara[3]
itu terdiri dari tiga unsur yaitu :
wilayah, rakyat dan pemerintahan.
Dalam mengkaji ketiga
unsur pokok sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli tata negara telah menjabarkannnya di dalam thema
pembahasan hukum dar al islam. Dr. Wahbah Zuhaily berkata : hijrahnya
Nabi SAW dari kota Mekah menuju kota Madinah yang
merupakan titik awal berdirinya sebuah daulah islamiyah oleh kalangan fuqaha
dimasa awal-awal islam belum digunakan sebagai sebuah terminologi umum,
melainkan mengungkapkannya dengan istilah dar al islam, karena kalimat
daulah belum banyak digunakan ulama saat itu. Disisi lain terdapat korelasi
makna yang bersifat talazum antara istilah kalimat daulah dan dar al islam.[4]
Beliau juga menambahkan,
walaupun ada ketalazuman pengertian antara kedua istilah tersebut, namun
bila ditinjau dari sudut wilayah kekuasaan terdapat titik perbedaan antara
masing-masing istilah tersebut, pengertian istilah dar islam lebih
terfokus pada pokok unsur yang bersifat materi (maksudnya tanah kekuasaan atau
kawasan) sedangkan konotasi istilah daulah islamiyah lebih bersifat sebagai
sebuah instusi kekuasaan yang bersifat independen.[5]
Dan pengertian dar al islam dengan ketiga unsur pokoknya sebagai definisi
sebuah Negara, adalah sesuai dengan pengertian negara yang dikemukakan para
ahli tata negara modern pada saat masa ini.
Unsur-Unsur
Pokok Daulah Islamiyah
Sebagaimana disinggung diatas, bahwasanya istilah
negara dalam pengertian pada masa kini diartikan sebagai : sekumpulan
masyarakat dengan jumlah yang banyak yang mendiami kawasan atau geografi
tertentu secara permanent, dan tunduk kedalam sebuah aturan instusi kekuasaan
atau wilayah politik tertentu. Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur
pokok utama yaitu : bangsa atau sekumpulan masing-masing pribadi, iklim atau
kawasa dan kekuasaan atau pemerintahan[6].
Uraian ketiga unsur utama pemerintahan, menurut
corak pandang fiqh islami -sebagai aplikasi teoritis ajaran-ajaran islam-
adalah sebagai berikut :
1.
Wilayah
Wilayah dalam pemerintahan islam adalah mencakup
semua kawasan yang dihuni orang islam, terdiri atas geografi dan lingkungan
tempat tinggalnya antara lain :
- Tanah : yaitu bagian unsur kering permukaan bumi yang didiami orang islam dan tunduk dalam wilayah dan kekuasaanya, baik itu berupa perkotaan, pedesaan, gurun, hutan, gunung atau kepulauan.[7]
- Sungai : yaitu air yang mengalir dari hulu -sumber air tersebut- sampai ke hilirnya, termasuk dalam wilayah pemerintahan islam.
- wilayah perairan pantai dan kawasan wilayah laut yang masuk dalam katagori ZEE (Zone Ekonomi Eklusif), yaitu kawasan perbatasan laut yang diambil dari jarak pantai terdekat. Adapun perairan yang masih dalam kawasan islam jelas mutlak milik negara islam seperti halnya danau dan bendungan.
Pembahasan tentang wilayah dan aspek-aspek hukum
didalamnya menurut teori ketata negaraan islam telah dijelaskan secara konperehensif
oleh para fuqaha tatanegara islam dalam sub thema pembahasan fiqh milkiyah
(fiqh asas perekonomian Negara).
2.
Rakyat
Rakyat -atau dalam pengertian Qur’an disebutkan
dengan istilah umat [QS 21:92]- dalam pengertian istilah dewasa ini terdiri
atas dua unsur : unsur material, yaitu
mendiami kawasan tertentu di muka bumi secara permanen, dan unsur ma’nawi
(spiritual), yaitu keinginan untuk hidup bersama-sama.
Pengertian rakyat sebagai salah satu unsur pokok
terciptanya sebuah negara, menurut teori tata Negara islam adalah terdiri dari
orang-orang islam yang mengimani ajaran-ajaran islam baik dari segi agama, syari’at,
akidah maupun aturan-aturannya. Dan orang-orang kafir dzimi, yaitu orang yang
tidak menganut islam akan tetapi bertempat tinggal secara permanent di wilyah islam dengan bersedia
menjalani semua aturan-aturan yang ditetapkan pemerintahan islam. Umat dalam
Negara Islam adalah terdiri dari kedua jenis unsur masyarakat tersebut (muslim
dan kafir dzimi) yang diikat kedalam sebuah aturan-aturan politik dan
undang-undang, dimana dalam teori istilah sekarang dinamakan warga negara.
Terdapat titik perbedaan sudut pandang dalam
pengertian istilah rakyat antara teori tata negara pada pada umumnya dengan teori
tata negara islam, ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rakyat atau umat dalam pengertian negara pada
umumnya adalah masyarakat yang dibatasi wilayah geografi tertentu, hidup
didalamnya kumpulan individu-individu yang terikat atas persamaan suku bangsa,
warna kulit, bahasa, agama, adat istiadat atau kepentingan tertentu. Sedangkan rakyat
dalam pandangan pemerintahan islam adalah
sebuah asas yang berdasarkan prinsip-prinsip dan tujuan garis-garis
besar ajaran islam, dari sistem yang berasaskan kemaslahatan hidup bagi umat
manusia serta menjahui prinsip rasisme, feodalisme, fanatisme kawasan dan
kebangsaan. Ikatan utama dalam pemerintahan islam adalah satu kesatuan dalam
aqidah atau dalam ungkapan lain diungkapkan satu kesatuan dalam corak fikir dan
hati masing-masing warga negara daulah islamiyah. Setiap orang yang memeluk
islam baik dari golongan, jenis, warna kulit, kawasan manapun dan orang-orang non
mulim yang bertempat tinggal dikawasan islam dengan bersedia mematuhi
aturan-aturan negara islam, mereka adalah warga negara islam. Dimana pengertian
rakyat dalam pandang pemerintahan islam oleh Dr.Wahbah diktakatan sebagai sudut
pandang yang lebih bersifat manusiawi dan sudut pandang internasional yang lebih
substansif [8],
karena asas ikatan masing-masing individu dalam negara islam, bukan semata atas
persamaan tanah air, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya. Melainkan lebih
dari itu, ikatan yang mengikat adalah adakalanya atas persamaan aqidah atau
ketundukan politik dengan negara islam. [9]
3. Pemerintahan
Pemerintahan dalam islam mempunya dua sifat aspek
kekuasaan ; aspek internal dan aspek eksternal. Adapun dalam aspek intenal,
negara berkuasa penuh atas semua individu dan instusi-instusi yang ada dalam
negara islam. Rakyat wajib taat sepenuhnya kepada pemerintah sepanjang masih dalam
batas-batas syari’at. Nabi berkata :
لا طاعة في
معصية الله, إنما الطاعة في المعروف[10]
Artinya : tidak wajib
metaati perintah yang ngandung maksiat kepada Allah, ketaatan hanya ada dalam
hal kebaiakan.
Dalam aspek ini, oleh al
Mawardi -sosok fakih tata negara islam-
dijelaskan bahwa : Apabila imam (kepala negara) telah menjalanka semua tugas-tugasnya
dalam memenuhi hak-hak rakyatnya dan menegakkan hak-hak Allah SWT diantara
mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam yaitu : hak
mentaatinya dan hak membantu tugasnya.[11]
Adapun dalam aspek
kekuasaan eksternal negara islam, al Quran telah menegaskan tentang asas prinsip
pemerintahan yang berkuasa penuh, independen dan bebas dari campur tangan asing [QS 4:141] dan firman Allah swt [QS 63:8].
Pola Pemerintahan Daulah
Islamiyah
Dalam teori ketatanegaran
modern terdapat bermacam-macam pola pemerintahan, diantaranya; pola tehnokrasi
yaitu kekuasaan mutlak ditangan raja. Kemuadian pola teokrasi dimana kekuasaan penuh
berada ditangan para khalifah (wakil) tuhan dimuka bumi. Dan pola demokrasi
yang menjadikan rakyat sebagai penguasa mutlak bagi sebuah pemerintahan.
Pola pemerintahan yang
dianut negara islam, sebagaimana pola yang dianut teori ketatanegaraan
kontemporer, adalah memakai pola demokrasi. Kebenaran argument tersebut -pola
pemerintahan demokrasi yang dianut Negara Islam- bisa ditelusuri antara lain :
Berdasarkan mekanisme distribusi
kekuasaan yang telah teraplikasikan semenjak pertama kali pemerintahan islam
berdiri.
a. Hak-hak
politik yang sama dalam hal bisa dipilih dan memilih.[12]
b. Hak beroposisi
dalam mengkoreksi kebijakan kepala Negara bila dinilai tidak tepat.[13]
c. Hak
melengserkan kepala negara bila keluar dari tugas dan kewajibannya.[14]
Adalah sangat keliru bila menyimpulkan pola
daulah islamiyah adalah menganut sistem pemerintahan teokrasi, yaitu pola
pemerintahan dengan berdasarkan kuasaan mutlak penuh milik Tuhan yang dipresentasikan
oleh kaum agamawan sebagai wakil Tuhan. Hal
ini sebagaimana pola pemerintahan Kristen katolik di Vatikan Roma pada abad
pertengahan, yang memegang otoritas
kekuasaan penuh baik dalam hal pengaturan praktek ubudiyah maupun muamalah umat
kristiani waktu itu. Kekeliruan tersebut, walaupun dalam pemerintah islam hukum
mutlak dalam genggaman Allah SWT [QS 40:12] dan [QS 12:40], akan tetapi dalam aplikasi
hukumnya, semua manusia wajib melaksanakan, baik itu seorang kepala negara
maupun rakyat jelata. Dan tidak ada hak-hak istimewa dihadapan hukum Allah SWT
[QS 5:48] , semua manusia mempunyai tanggung
jawab sama dihadapan-Nya [QS 6:164]. Berangkat dari ciri-ciri diatas, sangat
tidak tepat bila daulah islamiyah dikatagorikan sebagai negara teokrasi.
Distribusi Kekuasan dalam Daulah
Islamiyah
Jauh sebelum montasque
mencetuskan gagasan trias politika masa revolusi prancis pada abad sembilan
belas, daulah islamiyah sudah mengaplikasikan pendistribuasian kekuasan kedalam
model pemerintahannya yang telah berdiri tiga belas abad sebelumnya.
Pola pemerintahan yang terdiri atas kekuasaan
legeslatif , eksekutif dan yudikatif atau lebih dikenal dengan istilah trias
politika adalah salah satu ciri Negara Islam yang berasaskan demokrsasi.
Legislatif
Kekuasaan legeslatif adalah majelis yang mempunyai
tugas dan kewajiban membuat undang-undang dan mempunyai hak mengangkat dan
memberhentikan kepala negara, oleh fuqaha majelis tinggi ini dikenal dengan
istilah ahlul hil wal ‘aqd. Perlu digaris bawahi disini, bahwasanya
otoritas penuh dalam penetapan syari’at dan perundang-undangan dalam daulah
islamiyah mutlak penuh dalam genggaman Allah SWT (al Qur’an) dan Rasul-Nya (al
Hadist) [QS 33:36], [QS 4:65] dan [QS 24:63]. Tugas ahlul hil wal ‘aqd
adalah berijtihad atas sesuatu hukum yang belum dijelaskan dalam Qur’an maupun Hadist,
atau berijtihad terhadap nas-nas (teks) yang masih bersifat dhaniyah (jumud).
Oleh karena itu, setiap keputusan majelis ini tidak boleh keluar dari rel-rel
yang telah digariskan Qur’an dan Hadist.
Karena menentukan sebuah hukum yang tidak ada nas
sharih yang menjelaskannya atau nas yang masih jumud, maka anggota majlis ahlul
hil wal ‘aqd haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai kapabelitas
dalam berijtihad atau orang-orang mempunyai spesialisasi bidang keilmuan tertentu
seperti dokter, arsitek, dll. Melihat urgennya posisi ini para fuqoha telah
membuat kriteria ketat dalam menentukan siapa saja yang berhak untuk duduk
dalam majlis ini diantara kriteria tersebut antar lain [15]
:
a.
Mempunya
sifat ‘adalah [16]
b.
Mempunyai
kapabelitas keilmuan yang cukup
c.
Mempunyai
pola pandangan tajam kedepan terutama dalam hal pengangkatan dan pemberhentian
kepala negara.
Eksekutif
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan pelaksana
pemerintahan yang terdiri dari kepala negara dibantu para menteri kabinetnya.
Oleh para fuqaha, teori pengangkatan kepala negara dibagi kedalam beberapa
teori yang tidak mungkin dijelaskan disini, mengingat lebarnya tema pembahasan ini.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang
yang layak untuk diangkat sebagai seorang kepala Negara antara lain :
a.
Orang
yang mempunyai kekuasaan penuh atas dirinya yaitu : muslim, merdeka, laki-laki,
baligh, berakal.
b.
Mempunyai
sifat ‘adalah
c.
Mempunyai
kapasitas keilmuan yang memadai
d.
Bijaksana
dalam mengambil keputusan baik dalam bidang politik, mengangkat senjata, dan
administrasi kenegaraan.
e.
Bejiwa
tegas
f.
Sempurna
jiwa raganya
Kewajiban kepala negara
Tugas
dalam bidang keagamaan
- Hifd al din
- Jihad melawan musuh
- Mendistribusikan harta rampasan perang dan shadaqah
e.
Mengendalikan
dan mengatur syiar-syiar keagamaan
Tugas
dalam bidang politik
- Menjaga stabilitas keamanan dan tata tertib umum dalam negara
- Mempertahanakan wilayah negara dari serangan musuh
- Mengepalai langsung urusan-urusan umum
- Mengusung keadilan diantara rakyatnya
- Mengatur perputaran keuangan negara
- Mengangkat dan memberhentikan para aparatur negara
- Tidak melenceng dari nas-nas yang telah digariskan Qur’an, Hadist dan Ijma’
Sebagaimana lazimnya dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, kepala negara dibantu oleh para menteri. Dalam pemerintahan islam
kementerian dibagi kedalam dua katagori : pertama Menteri Tafwid dimana
dalam masa sekarang lebih menyerepuai jabatan perdana menteri. kedua Menteri Tanfidz
yaitu pembantu kepala negara yang mengepalai bidang tertentu.[17]
Yudikatif
Sudah menjadi kelazimannya, kekuasaan yudikatif adalah
kekuasaan yang membidangi masalah mahkamah dan pengadilan sebagaimana halnya sistem
tata negara pada umumnya. Oleh karena itu, penulis memandang tidak perlu
memperpanjang lebar uraian pembahasan ini, dikarenakan hal tersebut sudah
mafhum dan tidak ada perbedaan yang berarti antara kedua sistem tatanegara tersebut.
Namun disini perlu disingggung tentang instusi-instusi dibawah kekuasan
yudikatif selain mahkamam dan pengadilan seperti teori wilayah madholim, dimana
instusi ini lebih mendekati kepada system pengadilan administrasi negara dalam sistem
tata negara kontemporer. Selanjutnya dalam sistem tata negara daulah islamiyah
terdapat pula instusi yang dinamakan wilayahtul hisbah, namun untuk
menguraikannya perlu penjelasan panjang lebar yang tidak mungkin dijelaskan
dalam makalah ini.
Iqamah al Khilafah Islamiyah dan Wahdah Khilafah
Islamiyah
Sub thema pembahasan ini adalah sub thema krusial
yang selalu hangat diwacanakan di negara kita Indonesia tercinta, terutama ketika
ada moment mu’tamar internasional tentang khilfah islamiyah di Indonesia.
Dalam menghukumi pendirian daulah islamiyah apakah
wajib atau tidak para fuqaha telah mengklasifikannya kedalam dua arus gelombang
pendapat yaitu :
Pendapat pertama yang menghukumi pendirian negara
islam adalah suatu kewajiaban bagi kaum muslimin. Pendapat ini disokong oleh golongan
ahlu sunah wal jamaah, murji’ah, syi’ah, sebagian mu’tazilah, khawariz kecuali
pecahan aliran najdat.
Pendapat kedua yang menghukumi jawaz
(boleh) pendirian khilafah islamiayah pendapat ini kuatkan oleh aliran najdat
dari kelompok khawarij, Dhiror, Abu Bakar al Asham al Mu’tazili, Hisyam al
Fuaidi dan Ibad bin Sulaiman.[18]
Adapun dalil dari kedua argument tersebut agar
tidak terjebak dalam pemahaman yang menyesatkan, penulis sarankan agar merujuk
langsung kepada masing-masing pemilik pendapat tersebut dan mentarjih sendiri mana
yang lebih lebih bermanfa’at dan maslahah dalam masa sekarang dan sesuai dengan
maqasid syari’ah,[19]
karena menurut hemat penulis masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang
sifatnya dhoniyah dan dikatagorikan sebagai siyasah syar'iyah. kalau
toh masalah khilafah islamiyah termasuk dalam wilayah qat’i (bukan
wilayah ijtihad), tentunya semenjak dulu peristiwa-peristiwa politik yang
terjadi dalam umat islam -dimulai dari fitnah terbunuhnya kalifah Usman RA yang
disusul kemudian peristiwa Jamal disambung kemudian peristiwa siffin,
berubahnya pola pemerintahan islam dari system khilafah kedalam system
tehnokrasi hingga terpecahnya islam menjadi Negara-negara kecil setelah preode
dinasti Abasiyah berakhiri- hal tersebut tersebut tidak perlu terjadi bila ada
nas yang sharih dan qat’i dilalah dari shahib al musyari’ (Allah
SWT dan Rasul-Nya), tentang sistem khilafah islamiyah.
Adapun mengenai wahdah khilafah islamiyah, penulis
memandang persoalan tersebut adalah masuk katagori ijtihadi juga, karena sama
dengan diatas tidak ada nas yang qat’i yang mewajibkan wahdah khilafah islamiyah.[20]
Oleh karena itu dikembalikan kepada kontek kemaslahatan dari umat islam itu
sendiri.
Penutup
Sebagai uraian penutup kita patut bersyukur atas
nikmat yang diberikan Allah yang maha sempurna kepada kita dan untaian syukur
patut pula kita sampaiakn kepada-Nya karena telah menjadiakan kita umat islam
sebagai umat wasat (moderat) [QS 2:143]. Dan menjadikan ajaran islam sebagai
ajaran yang kamil mencakup semua aspek sisi kehidupan manusia sehingga hal-hal
yang dianggap sepele seperti cara makan, anjuran menjaga kebersihan, syriat
islam telah menjelaskannnya. Hal tersebut sungguh tidak masuk akal bila islam
tidak menyinggung konsep khilafah islamiyah, sebuah aturan yang sangat-sangat
vital bagi keberlangsungan kehiduapan umat manusia sebagaimana argument yang
dilontarkan orang-orang barat yang mengatakan bahwa islam hanyalah sebuah ajaran
yang tidak lebih dari sebatas kawasan masjid.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
peserta diskusi dan bagi penulis pada khususnya.
بالله التوفيق والهداية والله أعلم بالصواب
[1]- Lihat :
“Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal 36 juz 6
[2] - ibid
[3] -
dalam pengistilahan penamaan penulis
kadang menyebutkan kalimat daulah dengan negara atau pemerintah karena
persamaan maksud dari ketiga kalimat tersebut.
[4] - Dr.
Wahbah Zuhaily : Fiqh Islam Wadillatuh, hal 6304 juz 8
[5] - ibid
hal 6305 juz 8
[6] - Dr.
Mohamad Aziz Syukri; al Waziz Fi al Qanun Duali 'Am, Damaskus University
Press. hlm 42
[7] - Ibn
Abidin; Raddul Muhtar (hasiyah ibn abiding), hal 277 juz 3 al halabi press.
[9] - Dr.
Wahbah Zuhaily; Fiqh Islam Wa Adilayuh, hal 6319 juz 8
[10] -
Hadits riwayat Imam Muslim dari Sahabat
Ali RA
[11] - al
Mawardi ; al Ahkam Al Sulthaniyah hal 15
[12] -
hal tersebut telah terekam melalui peristiwa-peristiwa suksesi kehalifahan
setelah Nabi SAW meninggal dunia.
[13] -
seperti yang dilakukan sahabat Umar RA dalam memprotes kebijakan Nabi SAW dalam
ratifikasi hudaibiyah hasil kesepakatan antara
Nabi SAW sebagai pucuk pimpinan pemerintahan islam dengan orang-orang kafir mekah.
[14] - Nabi
SAW berkata :
السمع
والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره, مالم يؤمر بمعصية, فإذا أمر بمعصية فلا
سمع ولا طاعة [رواه أحمد ومسلم]
Orang islam harus patuh dan setia kepada
pimpinannya baik suka atau tidak suka, selama tidak memerintahkan kepada
kemaksiatan. Apabila memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak ada ketaatan
baginya. [HR Ahmad dan Muslim]
[15] - al
Ahkam al Sulthaniyah; almawardi
, hal 4
[16] -
yang dimaksud ‘adalah disini : sifat yang senetiasa melekat pada
pemiliknya untuk selalu berbuat takwa
dan menjaga muru’ah.
[17] -
Wahbah Zuhaili; Fiqh Islam wa Adillatuh. Hal 6185 juz 8 dan seterusnya
[18] - Ibid
Hal 6146 juz 8 dan seterusnya
[19] - Lebih
jelasnya lihat dalam Wahbah Zuhaili; Fiqh Islam wa Adillatuh. Hal 6146 juz 8
dan seterusnya
[20] - Adapun hadist Nabi SAW : "اذا بويع لخلفتين فاقتلوا
الآخر منهما" [ أخرجه مسلم من حديث أبي سعيد الخدري] artinya : ketika terjadi pelantikan dua kepala Negara maka bunuhlah
salah satunya [HR Muslim dari Abi Said al Khudri]. Secara literalis dalil ini mengharamkan
adanya dualisme kepemimpinan dalam islam, namun dalam prakteknya, Mua’wiyah
shahabat Nabi SAW gubernur wilayah syam waktu itu berani mengangkat senjata
melawan shahabat Ali RA, kepala negara pemerintahan islam waktu itu. Ini
menunjukan bahwa dilalah hadits tersebut tidak qat’i karena tidak ada ijma’
didalamnya. Disamping itu para fuqaha madzhahibul arba’ah (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali) terdapat dua pendapat yang berlawanan, Jumhur fuqaha
mewajibkan wahdah khilafah islamiyah sedangkan madzhab syafi’i memperbolehkan
dualisme wilayah kekuasaan dalam khilafah islamiyah. Lihat "Maushu'ah
Fiqhiyah Kuwaitiyah"; Madah دولة
Wynn Hotel Casino & Spa - Mapyro
BalasHapusA map 부산광역 출장샵 showing Wynn Las 속초 출장안마 Vegas and Encore, Las Vegas, 천안 출장마사지 NV, United States. 태백 출장샵 Find reviews and discounts for 김포 출장마사지 AAA/AARP members, seniors,