Jumat, 14 September 2012

METODOLOGI IJTIHAD DALAM SYARIAT ISLAM


Wahyu sebagai sumber ajaran utama Islam dalam menjawab masalah-masalah waqi’iyah yang terjadi, sudah tidak turun lagi semenjak dipanggilnya Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah keharibaan-Nya pada empat belas abad yang telah lewat. Disisi lain pola interaksi manusia yang sarat dengan permasalahan-permasalahan baru yang memerlukan jawaban hukum pengamalannya, dimana permasalahan yang terjadi tersebut tidak sama dengan permasalahan yang terjadi ketika wahyu diturunkan. Hal tersebut mendorong para ulama sebagai pewaris para anbiya berupaya dengan segenap kemampuannya menggali hukum atas permasalah-permasalahan yan belum ada hukumnya melalui dalil-dalil tafsiliyah yang dikenal dengan istilah ijtihad.
Dalam sejarah perundang-undangn Islam, istimbat hukum pada permaslahan yang tidak disinggung dalam al Qur’an yang disebut dengan istilah ijtihad sudah ada semenjak masa wahyu masih turun yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ataupun para sahabat beliau.[1]Hikmah dari dibolehkannya ijtihad walaupun wahyu masih turun untuk mendidik para sahabat serta generasi selanjutnya agar senantiasa proaktif dan apreatif terhadap masalah-masalah yang terjadi walaupun wahyu sudah tidak turun lagi. Setelah kita memahami tentang arti pentingnya sebuah ijtihad lalu timbul sebuah pertanyaan apa sih substansi ijtihad itu dan bagaimana metodologinya ?.
Pengertian Ijtihad
Secara etimologi kata ijtihad berasal dari kata dasar جهد . kata ini mengikuti wazan (morfem) افتعال  yang berfaidahkan mubalagah. Dalam bahasa Arab Kata جهد memiliki dua pengertian; pertama, ketika fa’ fi’ilnya berharakat fathah (جَهد) berarti المشقة (sukar). Kedua, ketika fa’ fi’ilnya berharakat dhamah (جُهد) berarti الطاقة (kemampuan).[2]
Dari pengertian etimologi tersebut di atas, para pakar ushul fiqh cenderung mengartikan ijtihad dengan pengertian  الطاقة (kemampuan) dimana secara terminologinya, oleh mereka didefinisikan sebagai berikut :[3]
بذل أقصى  الجهد للوصول الى حكم شرعي عملي من دليله التفصيلي بطريق استنباط الحكم من دليله
(berupaya dengan segenap kemampuan dalam mengasilkan sebuah hukum syari’ yang bersifat amaliyah berdasarkan dalil yang tafsili dengan jalan menggali  hukum dari langsung sumbernya).
Dari uraian definisi diatas dapat diambil penjelasan sebagai berikut :
Yang dimaksud بذل أقصى الجهد upaya seorang mujtahid dengan mencurahkan segenap kemampuannya untuk berijtihad dalam mencari sebuah hukum. Oleh karena itu seseorang tidak bisa dikatakan berijtihad menggali sebuah hukum dengan dalil yang sudah qot'i (pasti) karena disitu tidak ditemukan sama sekali ma’na بذل أقصى الجهد (mencurahkan segenap kemampuan) seperti halnya hukum saham ½ bagian anak perempuan dalam warisan yang mana alqur’an sudah menjelaskannya.
Hukum yang menjadi fokus seorang mujtahid dalam berijtihad adalah hukum syar’i yang bersifat praksis (amali). Oleh karena itu tidak bisa dikatakan berijtihad, seseorang yang mencurahkan segenap kemampuannya dalam menghasilkan sebuah hukum yang bersifat murni aqliyah (rasiao), atau hukum syara’ yang bersifat aqidah seperti hukum bahwasanya Allah SWT adalah tunggal tidak bersekutu karena hukum syara’ ini hanya bersifat kepercayaan yang tidak ada bentuk amaliyahnya, atau pula hukum pasti dalam teori matematika seperti hukum lebar sudut segitiga sama sisi adalah sama karena sifatnya murni rasio akal
Maksud dari dalil tafsili adalah menggali hukum dari sumber asalnya yang merupakan dalil-dalil syara’ yang bersifat elaborate (terperinci), bukan dalil-dalil kuliyah (general) yang terdapat dalam kaedah-kaedah ushul fiqh. Adapun mencurahkan kemampuan dalam mencari sebuah hukum lewat perkataan para ulama atau menaqel ibarat (memindah redaksi) dari kitab-kitab matan (induk) dan sarahnya (komentar), atau juga menggali sebuah hukum dari sumber-sumber yang tidak termasuk dalil-dali syar’i, tidak bisa dikatakan sebuah ijtihad menurut pandangan ulama ushul.
Definisi diatas detutup dengan kalimat “بطريق استنباط الحكم من دليله ” (dengan jalan mengali hukum dari sumbernya) bukan dengan dengan jalan itba’ atau taqlid (mengikuti pendapat orang lain).
Dari uraian tersebut, jadi ijtihad adalah sebuah proses pencarian hukum terhadap suatu permasalahan yang tidak diketemukan nas yang qat’i dan sarih.
Medan Ijtihad
Dalam medan ijtihad, Prof. Dr. Ahmad Haji Kurdi (pakar ensiklopide fiqh islam) dalam kitabnya "Madkhol al Fiqhi" telah menjelaskan bahwasanya medan ijtihad terbagi kedalam dua kawasan :
  1. Ijtihad dalam memahami nas (teks) yang masih ghamid (samara) atau musytarak (berma’na ganda) atau tidak jelas pengertiannya seperti ucapan Nabi SAW :
 اذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث[4]  
(ketika air sudah mencapai dua qullah maka tidak mengandung najis)
Karena tidak ada kebakuan ukuran qullatain yang di ucapakan Nabi SAW tersebut, maka para ulama melakukan berijtihad dan berbeda-beda pula pendapat mereka. Selanjutnya pengertian lafad قروء dalam surat al Baqarah ayat 228, dalam menafsirinya juga terjadi silang pendapat diantara mereka dikarenakan sifat gandanya maksud lafad tersebut.
  1. Ijtihad dalam menyamakan hukum dengan dengan nas dengan jalan di qiyaskan, atau istislah, atau dengan lainnya dari dalil-dalil yang digunakan untuk berijtihad seperti 'urf atau istishab dan lain-lainnya. [5]

Syarat-Syarat  Ijtihad
Dalam ijtihad para ulama telah membuat kreteria-kreteria sebagai persyaratan dalam melakukan ijtihad. Secara garis besar syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang mujtahid antara lain :
  1. Mempunyai pengetahuan yang menyeluruh tentang ayatulahkam (ayat-ayat hukum) yang ada dalam al Qur’an baik secara general maupun particular disamping mengerti ulumul qur'an.
  2. Menguasai ahaditsul ahkam (hadits-hadits hokum) yang terdapat dalam as Sunah baik secara general maupun partikular dan memahami ilmu-ilmu ushulul hadis.
  3. Faham proses hukum hasil ijma ’(consensus) para ulama sebelumnya.
  4. Memahami teori maqosid syariah
  5. Mempunyai pengetahuan yang baik tentang bahasa Arab serta qaedah-qaedahnya.
  6. Memahami situasi dan kondisni yang terjadi dimasyarakat.
  7. Sempurna aqidahnya, beretika dengan ahlakul karomah, lurus jalan hidupnya dan tidak dikenal sebagai seorang yang fasiq (sering berbuat dosa).
  8. Sempurna akal fikirannya.[6]
Hukum Ijtihad
Secara umum, hukum ijtihad adalah fardu kifayah bagi setiap muslim pada setiap masa dan generasi. Akan tetapi bagi orang-orang yang mempunyai kapabilitas dalam berijtihad dan menetapi persyaratan-persyartan yang telah ditentukan diatas, ketika mendapati suatu permasalahan yang harus segera dicari hukumnya, maka hukumnya fardlu ain bagi dia dalam berijtihad. Bila dalam satu tempat terdapat lebih dari satu orang-orang yang kapabel dalam berijtihad maka hukum berijtihad bagi merka adalah fardlu kifayah. Dan sunah hukumnya berijtihad tentang suatu masalah yang belum pernah terjadi atau akan terjadi dimasa akan datang.
Adapun hukum berijtihad bagi para ulama atau orang lain yang tidak mempunyai kepabilitas dalam berijtihad adalah haram.[7]
Sumber-Sumber Hukum Syari’at Islam
Sumber-sumber hukum yang dijadikan sandaran para ulama dalam berijtihad, jumlahnya sangat banyak sekali mencapai angka dupuluhan lebih. Dari sumber-sumber hukum tersebut yang paling utama antara lain : al Qur’an, Assunah, Ijma’, Qiyas, Istishab, Istihsan, Masolihul Mursalah, Mazhab Sohabi, Suria’ Minqoblina, ‘Urf, Saddud Dara’i.
Dari sekian sumber hukum tersebut para ulama telah mengklasifikasikannya kedalam tiga katagori :
  1. Sumber hukum dilihat dari segi sifat asalnya terbagi menjadi dua ; pertama sumber hukum yang bersifat naqliyah yaitu : al Qur’an, Assunah, Ijma,‘Urf, Suri’a min qablina, dan Madzhab sahabi. Yang kedua bersifat aqliyah yaitu : Qiyas, Istihsan, Masalah al Mursalah dan Saddud Darai’
2.      Sumber hukum dilihat dari segi istiqlalnya (kemandirian) terbagi menjadi dua : sumber hukum yang mustaqil (independen) dalam menentukan sebuah hukum seperti : al Qur’an, Assunah, Ijma, ‘Urf dan Madzhab shahabi. Dan sumber hukum ghoiru musytqil (tidak independen) yang masih memerlukan dalil lain seperti : Qiyas, Istihsan, dan Sad Addara’i.
3.      Sumber hukum dilihat dari segi itifaqiyahnya dibagi menjadi dua katagori : pertama sumber hukum yang muttafaq (disepakati) dilakalangan para ulama yaitu ada 4 : al Qur’an, Assunah, Ijma dan Qiyas. Kedua sumber hukum yang muhtalaf (masih berselih pendapat) yaitu : Istishab, Istihsan, Masolihul Mursalah, Mazhab Sohabi, Suria’ Minqoblina, ‘Urf, Saddud Dara’i. Oleh para ulama ushul sumber hukum yang pertama dinamakan juga sumber hukum asliyah (utama) sedangkan yang kedua dinamakan sumber hukum taba’iyah (pelengkap).[8]
Demikian ulasan singkat tentang ijtihad dan bagaimana metodologi pengaplikasiannya dalam syariat islam, semoga bisa bermafaat bagi semua. Amin ya robbal alamin.


[1] Dr. Muhammad Zuhaili, Ushul Fiqh Islam. Damascus University Press hal. 31
[2] Lihat mu’jam “Lisanul Arobjuz 3hal.133 madah  جهد lihat juga mu’jam “Muhtarus Sihhah” juz 1 hal.48 madahد ج ه.
[3] Lihat uraian selengkapnya dalam makalahnya  Dr. Ibrahim Salqini dengan judul “Ijtihad Tasyri’ Islam” yang diterbitkan majalah “Turasul Arabi” edisi ke 11 tahun 1983
[4] Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Ashab al Sunan dari Abdullah Ibn "Umar. lihat kitab "Talhisul Al Khabir" karangan Imam Ibn Hajar al Asqalani hal. 4 juz 1
[5] Dr. Ahmad Haji Kurdi, Madkhol Fiqh. Damascus University press. Hal. 80
[6] Dr. Ibrahim Salqini, Ijtihad Tasyri’ Islam
[7] ibid
[8] Dr. Muhammad Zuhaili, Ushul Fiqh Islam. Damascus University Press hal. 103

DAULAH ISLAMIYAH ; Kajian Teoritis Konsep Tata Negara Dalam Fiqh Islami



Muqadimah
Lima belas abad berlalu risalah islam diturunkan dimuka bumi sebagai risalah penutup dan penyempurna diantara risalah-risalah sebelumnya yang telah Allah SWT turunkan kepada umat manusia sebagai petunjuk jalan kebenaran dan menuntun umat manusia agar senantiasa hijrah dari jalan kegelapan menuju jalan terang benerang [QS 2 :257]. Islam sebagai penutup dari risalah-risalah sebelumnya sudah sepatutnya mempunyai sebuah nilai universalisme ajaran yang mengatur semua sisi ruang kehidupan manusia baik pola hubungan vertikal maupun pola horizontal, sehingga tercermin diferensi ajaran bagi risalah sebelumnya. Universalimse ajaran tersebut adalah anugrah Allah SWT yang tak terhingga nilainya bagi umat islam dan bagi umat manusia pada umumnya [QS 5:3].
Berangkat dari kekafahan ajaran tersebut, tidaklah  berlebihan bila dalam kontek kenegaraan ajaran islam telah memiliki sebuah konsep teoritis, dimana dasar-dasar pondasi daulah islamiyah atau Negara islam tersebut, sudah teraplikasikan semenjak agama islam diturunkan pertama kali, dalam fase dakwah kedua setelah Nabi Muhamad SAW hijrah ke kota Madinah.   Setelah beliau selesai menunaikan tugasnya dan pulang ke hadirat-Nya, kendali kepemimpinan islam diteruskan oleh para sahabat-sahabat beliau fase khulafaurrosyidin, kemudian kepemimpinan daulah islamiyah tersebut beralih ketangan kaum tehnokrat islam dimulai dari Bani Umayah berturut-turut Bani Abasiyah, Daulah Fatimiyah sehingga khilafah islamiyah berakhir dengan berakhirnya kekuasaan Turki Usmani di penghujung abad sembilan belas.
Konsep teoritis tata negara dalam islam sudah diakumulasiakan oleh para sarjana-sarjana islam kedalam bentuk disiplin keilmuan cabang dari disiplin ilmu Fiqh, bahkan beberapa fuqaha melihat urgentnya sub thema pembahasan ini,  telah mekodifikasikannya kedalam sebuah maha karya agung yang bersifat mustakil (independent) dari bab-baba fiqh lainya  diantaranya para fuqaha tersebut : Qadi Abu Yusuf dalam kitab al Khoroz, Al Mawardi dan Qadi Abu Ya’la masing-masing dalam kitab al Ahkam al Sulthaniyah dan Ibnu Taimiyah dalam kitab al Siyasah al Syar’iyah serta para fuqaha ahli tata Negara lainya yang tidak disebutkan disini.
Untuk tidak memperpanjang lebar uraian muqadimah, dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraiakan tentang konsep daulah islamiyah yang telah di gagas oleh para sarjana-sarjana fiqh islam tersebut.
Definisi Daulah
Secara bahasa kalimat daulah oleh para ulama diartikan sebagai[1] :
حصول الشي في يد هذا تارة وفي يد أخرى,  أو العقبة في المال والحرب (أي التعاقب)
Sesuatu yang kadang dihasilkan dari tangan ini  dan dihasilkan dari tangan lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau peperangan.
Penggunaan kata daulah digunakan sebagai kata istilah, belum begitu merata dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya beberapa kitab yang sudah memakainya seperti kitab ahkam sultoniyah. Namun begitu oleh para fuqaha zaman dulu, pembahasan daulah islamiyah dalam kitab fiqh-fiqh turast sudah dimasukan kedalam sub thema pembahasan kepemimpinan negara (al ahkam al imamiyah) dengan menegaskan bahwa daulah adalah representasi dari sosok kepemimpinan tinggi, atau istilah lainya khalifah. Dimana dalam bab ini mencakup pula sub-sub thema selanjutnya dari bab tentang wewenang, tugas dan hak seorang pemimpin.
Oleh para fuqaha tatanegara islam daulah islamiyah didefinisikan sebagai[2]. :
مجموعة الإيلات تجتمع لتحقيق السيادة على أقاليم معينة, لها حدودها, ومستوطنوها, فيكون الحاكم أو الخاليفة, أو أمير المؤمنين, على رأس هذه السلطات.
Gabungan kelompok masyarakat yang menguasai kawasan tertentu, mempunyai wilayah dan anggota masyarakat tertentu, dan hakim atau khalifah atau amirul mu’minin yang bertindak sebagai pucuk pimpinan kekuasaaan ini.
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya negara[3] itu terdiri dari tiga unsur  yaitu : wilayah, rakyat dan pemerintahan.
Dalam mengkaji ketiga unsur pokok sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli tata negara  telah menjabarkannnya di dalam thema pembahasan hukum dar al islam. Dr. Wahbah Zuhaily berkata : hijrahnya Nabi SAW dari kota Mekah menuju kota Madinah yang merupakan titik awal berdirinya sebuah daulah islamiyah oleh kalangan fuqaha dimasa awal-awal islam belum digunakan sebagai sebuah terminologi umum, melainkan mengungkapkannya dengan istilah dar al islam, karena kalimat daulah belum banyak digunakan ulama saat itu. Disisi lain terdapat korelasi makna yang bersifat talazum antara istilah kalimat daulah dan dar al islam.[4]
Beliau juga menambahkan, walaupun ada ketalazuman pengertian antara kedua istilah tersebut, namun bila ditinjau dari sudut wilayah kekuasaan terdapat titik perbedaan antara masing-masing istilah tersebut, pengertian istilah dar islam lebih terfokus pada pokok unsur yang bersifat materi (maksudnya tanah kekuasaan atau kawasan) sedangkan konotasi istilah daulah islamiyah lebih bersifat sebagai sebuah instusi kekuasaan yang bersifat independen.[5] Dan pengertian dar al islam dengan ketiga unsur pokoknya sebagai definisi sebuah Negara, adalah sesuai dengan pengertian negara yang dikemukakan para ahli tata negara modern pada saat masa ini.
Unsur-Unsur Pokok Daulah Islamiyah
Sebagaimana disinggung diatas, bahwasanya istilah negara dalam pengertian pada masa kini diartikan sebagai : sekumpulan masyarakat dengan jumlah yang banyak yang mendiami kawasan atau geografi tertentu secara permanent, dan tunduk kedalam sebuah aturan instusi kekuasaan atau wilayah politik tertentu. Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok utama yaitu : bangsa atau sekumpulan masing-masing pribadi, iklim atau kawasa dan kekuasaan atau pemerintahan[6].
Uraian ketiga unsur utama pemerintahan, menurut corak pandang fiqh islami -sebagai aplikasi teoritis ajaran-ajaran islam- adalah sebagai berikut :
1. Wilayah
Wilayah dalam pemerintahan islam adalah mencakup semua kawasan yang dihuni orang islam, terdiri atas geografi dan lingkungan tempat tinggalnya antara lain :
  1. Tanah : yaitu bagian unsur kering permukaan bumi yang didiami orang islam dan tunduk dalam wilayah dan kekuasaanya, baik itu berupa perkotaan, pedesaan, gurun, hutan, gunung atau kepulauan.[7]
  2. Sungai : yaitu air yang mengalir dari hulu -sumber air tersebut- sampai ke hilirnya, termasuk dalam wilayah pemerintahan islam.
  3. wilayah perairan pantai dan kawasan wilayah laut yang masuk dalam katagori ZEE (Zone Ekonomi Eklusif), yaitu kawasan perbatasan laut yang diambil dari jarak pantai terdekat. Adapun perairan yang masih dalam kawasan islam jelas mutlak milik negara islam seperti halnya danau dan bendungan.
Pembahasan tentang wilayah dan aspek-aspek hukum didalamnya menurut teori ketata negaraan islam telah dijelaskan secara konperehensif oleh para fuqaha tatanegara islam dalam sub thema pembahasan fiqh milkiyah (fiqh asas perekonomian Negara).
2. Rakyat
Rakyat -atau dalam pengertian Qur’an disebutkan dengan istilah umat [QS 21:92]- dalam pengertian istilah dewasa ini terdiri atas dua unsur : unsur  material, yaitu mendiami kawasan tertentu di muka bumi secara permanen, dan unsur ma’nawi (spiritual), yaitu keinginan untuk hidup bersama-sama.
Pengertian rakyat sebagai salah satu unsur pokok terciptanya sebuah negara, menurut teori tata Negara islam adalah terdiri dari orang-orang islam yang mengimani ajaran-ajaran islam baik dari segi agama, syari’at, akidah maupun aturan-aturannya. Dan orang-orang kafir dzimi, yaitu orang yang tidak menganut islam akan tetapi bertempat tinggal secara permanent         di wilyah islam dengan bersedia menjalani semua aturan-aturan yang ditetapkan pemerintahan islam. Umat dalam Negara Islam adalah terdiri dari kedua jenis unsur masyarakat tersebut (muslim dan kafir dzimi) yang diikat kedalam sebuah aturan-aturan politik dan undang-undang, dimana dalam teori istilah sekarang dinamakan warga negara.
Terdapat titik perbedaan sudut pandang dalam pengertian istilah rakyat antara teori tata negara pada pada umumnya dengan teori tata negara islam, ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rakyat atau umat dalam pengertian negara pada umumnya adalah masyarakat yang dibatasi wilayah geografi tertentu, hidup didalamnya kumpulan individu-individu yang terikat atas persamaan suku bangsa, warna kulit, bahasa, agama, adat istiadat atau kepentingan tertentu. Sedangkan rakyat dalam pandangan pemerintahan islam adalah  sebuah asas yang berdasarkan prinsip-prinsip dan tujuan garis-garis besar ajaran islam, dari sistem yang berasaskan kemaslahatan hidup bagi umat manusia serta menjahui prinsip rasisme, feodalisme, fanatisme kawasan dan kebangsaan. Ikatan utama dalam pemerintahan islam adalah satu kesatuan dalam aqidah atau dalam ungkapan lain diungkapkan satu kesatuan dalam corak fikir dan hati masing-masing warga negara daulah islamiyah. Setiap orang yang memeluk islam baik dari golongan, jenis, warna kulit, kawasan manapun dan orang-orang non mulim yang bertempat tinggal dikawasan islam dengan bersedia mematuhi aturan-aturan negara islam, mereka adalah warga negara islam. Dimana pengertian rakyat dalam pandang pemerintahan islam oleh Dr.Wahbah diktakatan sebagai sudut pandang yang lebih bersifat manusiawi dan sudut pandang internasional yang lebih substansif [8], karena asas ikatan masing-masing individu dalam negara islam, bukan semata atas persamaan tanah air, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya. Melainkan lebih dari itu, ikatan yang mengikat adalah adakalanya atas persamaan aqidah atau ketundukan politik dengan negara islam. [9]
3. Pemerintahan
Pemerintahan dalam islam mempunya dua sifat aspek kekuasaan ; aspek internal dan aspek eksternal. Adapun dalam aspek intenal, negara berkuasa penuh atas semua individu dan instusi-instusi yang ada dalam negara islam. Rakyat wajib taat sepenuhnya kepada pemerintah sepanjang masih dalam batas-batas syari’at. Nabi berkata :
 لا طاعة في معصية الله, إنما الطاعة في المعروف[10]
Artinya : tidak wajib metaati perintah yang ngandung maksiat kepada Allah, ketaatan hanya ada dalam hal kebaiakan.
Dalam aspek ini, oleh al Mawardi -sosok fakih tata negara  islam- dijelaskan bahwa : Apabila imam (kepala negara) telah menjalanka semua tugas-tugasnya dalam memenuhi hak-hak rakyatnya dan menegakkan hak-hak Allah SWT diantara mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam yaitu : hak mentaatinya dan hak membantu tugasnya.[11]
Adapun dalam aspek kekuasaan eksternal negara islam, al Quran telah menegaskan tentang asas prinsip pemerintahan yang berkuasa penuh, independen dan bebas dari campur tangan asing  [QS 4:141] dan firman Allah swt [QS 63:8].
Pola Pemerintahan Daulah Islamiyah
Dalam teori ketatanegaran modern terdapat bermacam-macam pola pemerintahan, diantaranya; pola tehnokrasi yaitu kekuasaan mutlak ditangan raja. Kemuadian pola teokrasi dimana kekuasaan penuh berada ditangan para khalifah (wakil) tuhan dimuka bumi. Dan pola demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai penguasa mutlak bagi sebuah pemerintahan.
Pola pemerintahan yang dianut negara islam, sebagaimana pola yang dianut teori ketatanegaraan kontemporer, adalah memakai pola demokrasi. Kebenaran argument tersebut -pola pemerintahan demokrasi yang dianut Negara Islam- bisa ditelusuri antara lain :
Berdasarkan mekanisme distribusi kekuasaan yang telah teraplikasikan semenjak pertama kali pemerintahan islam berdiri.
a.       Hak-hak politik yang sama dalam hal bisa dipilih dan memilih.[12]
b.      Hak beroposisi dalam mengkoreksi kebijakan kepala Negara bila dinilai tidak tepat.[13]
c.       Hak melengserkan kepala negara bila keluar dari tugas dan kewajibannya.[14]
 Adalah sangat keliru bila menyimpulkan pola daulah islamiyah adalah menganut sistem pemerintahan teokrasi, yaitu pola pemerintahan dengan berdasarkan kuasaan mutlak penuh milik Tuhan yang dipresentasikan oleh kaum agamawan sebagai wakil Tuhan.  Hal ini sebagaimana pola pemerintahan Kristen katolik di Vatikan Roma pada abad pertengahan,  yang memegang otoritas kekuasaan penuh baik dalam hal pengaturan praktek ubudiyah maupun muamalah umat kristiani waktu itu. Kekeliruan tersebut, walaupun dalam pemerintah islam hukum mutlak dalam genggaman Allah SWT [QS 40:12] dan [QS 12:40], akan tetapi dalam aplikasi hukumnya, semua manusia wajib melaksanakan, baik itu seorang kepala negara maupun rakyat jelata. Dan tidak ada hak-hak istimewa dihadapan hukum Allah SWT [QS 5:48] ,  semua manusia mempunyai tanggung jawab sama dihadapan-Nya [QS 6:164]. Berangkat dari ciri-ciri diatas, sangat tidak tepat bila daulah islamiyah dikatagorikan sebagai negara teokrasi.
Distribusi Kekuasan dalam Daulah Islamiyah
Jauh sebelum montasque mencetuskan gagasan trias politika masa revolusi prancis pada abad sembilan belas, daulah islamiyah sudah mengaplikasikan pendistribuasian kekuasan kedalam model pemerintahannya yang telah berdiri tiga belas abad sebelumnya.
Pola pemerintahan yang terdiri atas kekuasaan legeslatif , eksekutif dan yudikatif atau lebih dikenal dengan istilah trias politika adalah salah satu ciri Negara Islam yang berasaskan demokrsasi.
Legislatif
Kekuasaan legeslatif adalah majelis yang mempunyai tugas dan kewajiban membuat undang-undang dan mempunyai hak mengangkat dan memberhentikan kepala negara, oleh fuqaha majelis tinggi ini dikenal dengan istilah ahlul hil wal ‘aqd. Perlu digaris bawahi disini, bahwasanya otoritas penuh dalam penetapan syari’at dan perundang-undangan dalam daulah islamiyah mutlak penuh dalam genggaman Allah SWT (al Qur’an) dan Rasul-Nya (al Hadist) [QS 33:36], [QS 4:65] dan [QS 24:63]. Tugas ahlul hil wal ‘aqd adalah berijtihad atas sesuatu hukum yang belum dijelaskan dalam Qur’an maupun Hadist, atau berijtihad terhadap nas-nas (teks) yang masih bersifat dhaniyah (jumud). Oleh karena itu, setiap keputusan majelis ini tidak boleh keluar dari rel-rel yang telah digariskan Qur’an dan Hadist.
Karena menentukan sebuah hukum yang tidak ada nas sharih yang menjelaskannya atau nas yang masih jumud, maka anggota majlis ahlul hil wal ‘aqd haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai kapabelitas dalam berijtihad atau orang-orang mempunyai spesialisasi bidang keilmuan tertentu seperti dokter, arsitek, dll. Melihat urgennya posisi ini para fuqoha telah membuat kriteria ketat dalam menentukan siapa saja yang berhak untuk duduk dalam majlis ini diantara kriteria tersebut antar lain [15] :
a.       Mempunya sifat ‘adalah [16]
b.      Mempunyai kapabelitas keilmuan yang cukup
c.       Mempunyai pola pandangan tajam kedepan terutama dalam hal pengangkatan dan pemberhentian kepala negara.
Eksekutif
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan pelaksana pemerintahan yang terdiri dari kepala negara dibantu para menteri kabinetnya. Oleh para fuqaha, teori pengangkatan kepala negara dibagi kedalam beberapa teori yang tidak mungkin dijelaskan disini, mengingat lebarnya tema pembahasan ini.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang yang layak untuk diangkat sebagai seorang kepala Negara antara lain :
a.       Orang yang mempunyai kekuasaan penuh atas dirinya yaitu : muslim, merdeka, laki-laki, baligh, berakal.
b.      Mempunyai sifat ‘adalah
c.       Mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai
d.      Bijaksana dalam mengambil keputusan baik dalam bidang politik, mengangkat senjata, dan administrasi kenegaraan.
e.       Bejiwa tegas
f.        Sempurna jiwa raganya
Kewajiban kepala negara
Tugas dalam bidang keagamaan
  1. Hifd al din
  2. Jihad melawan musuh
  1. Mendistribusikan harta rampasan perang dan shadaqah
e.       Mengendalikan dan mengatur syiar-syiar keagamaan
Tugas dalam bidang politik
  1. Menjaga stabilitas keamanan dan tata tertib umum dalam negara
  2. Mempertahanakan wilayah negara dari serangan musuh
  3. Mengepalai langsung urusan-urusan umum
  4. Mengusung keadilan diantara rakyatnya
  5. Mengatur perputaran keuangan negara
  6. Mengangkat dan memberhentikan para aparatur negara
  7. Tidak melenceng dari nas-nas yang telah digariskan Qur’an, Hadist dan Ijma’
Sebagaimana lazimnya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepala negara dibantu oleh para menteri. Dalam pemerintahan islam kementerian dibagi kedalam dua katagori : pertama Menteri Tafwid dimana dalam masa sekarang lebih menyerepuai jabatan perdana menteri. kedua Menteri Tanfidz yaitu pembantu kepala negara yang mengepalai bidang tertentu.[17]
Yudikatif
Sudah menjadi kelazimannya, kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang membidangi masalah mahkamah dan pengadilan sebagaimana halnya sistem tata negara pada umumnya. Oleh karena itu, penulis memandang tidak perlu memperpanjang lebar uraian pembahasan ini, dikarenakan hal tersebut sudah mafhum dan tidak ada perbedaan yang berarti antara kedua sistem tatanegara tersebut. Namun disini perlu disingggung tentang instusi-instusi dibawah kekuasan yudikatif selain mahkamam dan pengadilan seperti teori wilayah madholim, dimana instusi ini lebih mendekati kepada system pengadilan administrasi negara dalam sistem tata negara kontemporer. Selanjutnya dalam sistem tata negara daulah islamiyah terdapat pula instusi yang dinamakan wilayahtul hisbah, namun untuk menguraikannya perlu penjelasan panjang lebar yang tidak mungkin dijelaskan dalam makalah ini.
Iqamah al Khilafah Islamiyah dan Wahdah Khilafah Islamiyah
Sub thema pembahasan ini adalah sub thema krusial yang selalu hangat diwacanakan di negara kita Indonesia tercinta, terutama ketika ada moment mu’tamar internasional tentang khilfah islamiyah di Indonesia.
Dalam menghukumi pendirian daulah islamiyah apakah wajib atau tidak para fuqaha telah mengklasifikannya kedalam dua arus gelombang pendapat yaitu :
Pendapat pertama yang menghukumi pendirian negara islam adalah suatu kewajiaban bagi kaum muslimin. Pendapat ini disokong oleh golongan ahlu sunah wal jamaah, murji’ah, syi’ah, sebagian mu’tazilah, khawariz kecuali pecahan aliran najdat.
Pendapat kedua yang menghukumi jawaz (boleh) pendirian khilafah islamiayah pendapat ini kuatkan oleh aliran najdat dari kelompok khawarij, Dhiror, Abu Bakar al Asham al Mu’tazili, Hisyam al Fuaidi dan Ibad bin Sulaiman.[18]
Adapun dalil dari kedua argument tersebut agar tidak terjebak dalam pemahaman yang menyesatkan, penulis sarankan agar merujuk langsung kepada masing-masing pemilik pendapat tersebut dan mentarjih sendiri mana yang lebih lebih bermanfa’at dan maslahah dalam masa sekarang dan sesuai dengan maqasid syari’ah,[19] karena menurut hemat penulis masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang sifatnya dhoniyah dan dikatagorikan sebagai siyasah syar'iyah. kalau toh masalah khilafah islamiyah termasuk dalam wilayah qat’i (bukan wilayah ijtihad), tentunya semenjak dulu peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam umat islam -dimulai dari fitnah terbunuhnya kalifah Usman RA yang disusul kemudian peristiwa Jamal disambung kemudian peristiwa siffin, berubahnya pola pemerintahan islam dari system khilafah kedalam system tehnokrasi hingga terpecahnya islam menjadi Negara-negara kecil setelah preode dinasti Abasiyah berakhiri- hal tersebut tersebut tidak perlu terjadi bila ada nas yang sharih dan qat’i dilalah dari shahib al musyari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya), tentang sistem khilafah islamiyah.
Adapun mengenai wahdah khilafah islamiyah, penulis memandang persoalan tersebut adalah masuk katagori ijtihadi juga, karena sama dengan diatas tidak ada nas yang qat’i yang mewajibkan wahdah khilafah islamiyah.[20] Oleh karena itu dikembalikan kepada kontek kemaslahatan dari umat islam itu sendiri.
Penutup
Sebagai uraian penutup kita patut bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah yang maha sempurna kepada kita dan untaian syukur patut pula kita sampaiakn kepada-Nya karena telah menjadiakan kita umat islam sebagai umat wasat (moderat) [QS 2:143]. Dan menjadikan ajaran islam sebagai ajaran yang kamil mencakup semua aspek sisi kehidupan manusia sehingga hal-hal yang dianggap sepele seperti cara makan, anjuran menjaga kebersihan, syriat islam telah menjelaskannnya. Hal tersebut sungguh tidak masuk akal bila islam tidak menyinggung konsep khilafah islamiyah, sebuah aturan yang sangat-sangat vital bagi keberlangsungan kehiduapan umat manusia sebagaimana argument yang dilontarkan orang-orang barat yang mengatakan bahwa islam hanyalah sebuah ajaran yang tidak lebih dari sebatas kawasan masjid.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para peserta diskusi dan bagi penulis pada khususnya.

بالله التوفيق والهداية والله أعلم بالصواب



[1]- Lihat : “Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal 36 juz 6
[2] - ibid
[3] - dalam pengistilahan penamaan penulis  kadang menyebutkan kalimat daulah dengan negara atau pemerintah karena persamaan maksud dari ketiga kalimat tersebut.
[4] - Dr. Wahbah Zuhaily : Fiqh Islam Wadillatuh, hal 6304 juz 8
[5] - ibid hal 6305 juz 8
[6] - Dr. Mohamad Aziz Syukri; al Waziz Fi al Qanun Duali 'Am, Damaskus University Press. hlm 42
[7] - Ibn Abidin; Raddul Muhtar (hasiyah ibn abiding), hal 277 juz 3 al halabi press.
[8] - Sebagaimana dalam ta’bir beliau  مما يدل على أن نظرة الإسلام انسانية وأفقه عالمي
[9] - Dr. Wahbah Zuhaily; Fiqh Islam Wa Adilayuh, hal 6319 juz 8
[10] - Hadits riwayat Imam Muslim dari  Sahabat Ali RA
[11] - al Mawardi ; al Ahkam Al Sulthaniyah hal 15
[12] - hal tersebut telah terekam melalui peristiwa-peristiwa suksesi kehalifahan setelah Nabi SAW meninggal dunia.
[13] - seperti yang dilakukan sahabat Umar RA dalam memprotes kebijakan Nabi SAW dalam ratifikasi hudaibiyah hasil kesepakatan antara  Nabi SAW sebagai pucuk pimpinan pemerintahan islam dengan orang-orang kafir mekah.
[14] - Nabi SAW berkata : 
 السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره, مالم يؤمر بمعصية, فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة [رواه أحمد ومسلم]
Orang islam harus patuh dan setia kepada pimpinannya baik suka atau tidak suka, selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak ada ketaatan baginya. [HR Ahmad dan Muslim]
[15] - al Ahkam al Sulthaniyah; almawardi , hal 4
[16] - yang dimaksud ‘adalah disini : sifat yang senetiasa melekat pada pemiliknya  untuk selalu berbuat takwa dan menjaga muru’ah.
[17] - Wahbah Zuhaili; Fiqh Islam wa Adillatuh. Hal 6185 juz 8 dan seterusnya
[18] - Ibid Hal 6146 juz 8 dan seterusnya
[19] - Lebih jelasnya lihat dalam Wahbah Zuhaili; Fiqh Islam wa Adillatuh. Hal 6146 juz 8 dan seterusnya
[20] - Adapun hadist Nabi SAW : "اذا بويع لخلفتين فاقتلوا الآخر منهما" [ أخرجه مسلم من حديث أبي سعيد الخدري] artinya : ketika terjadi  pelantikan dua kepala Negara maka bunuhlah salah satunya [HR Muslim dari Abi Said al Khudri]. Secara literalis dalil ini mengharamkan adanya dualisme kepemimpinan dalam islam, namun dalam prakteknya, Mua’wiyah shahabat Nabi SAW gubernur wilayah syam waktu itu berani mengangkat senjata melawan shahabat Ali RA, kepala negara pemerintahan islam waktu itu. Ini menunjukan bahwa dilalah hadits tersebut tidak qat’i karena tidak ada ijma’ didalamnya. Disamping itu para fuqaha madzhahibul arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) terdapat dua pendapat yang berlawanan, Jumhur fuqaha mewajibkan wahdah khilafah islamiyah sedangkan madzhab syafi’i memperbolehkan dualisme wilayah kekuasaan dalam khilafah islamiyah. Lihat "Maushu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah"; Madah دولة